Kamis, 08 Januari 2009

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN; ALTERNATIF UNTUK MENJINAKKAN PEMBANGUNAN


Oleh: A. Agus , S.Pd.

Bumi bisa memenuhi kebutuhan seluruh ummat manusia, Tapi bumi tidak bisa memenuhi kerakusan segelintir ummat manusia...

(Mahatma Ghandi)

Kilas Balik Pembangunan…

Bila Pembangunan bisa kita definisikan secara sederhana sebagai proses sadar yang dilakukan secara terencana untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, maka momentum awalnya bisa ditemukan dari munculnya sebuah zaman baru yang kelak disebut zaman modern. Zaman modern ini menemukan pijakan awalnya sekaligus pijakan filosofisnya ketika tumbuhnya kepercayaan penuh kepada kemampuan manusia untuk menentukan sejarahnya sendiri. Kepercayaan kepada kemampuan manusia yang sekaligus menjadi negasi dari konsepsi sebelumnya yang menempatkan manusia sebagai subordinat dari sebuah kekuatan maha dahsyat sebelumnya yang sama sekali berada diluar kuasa kontrol manusia. Kekuatan besar itu kadangkala muncul dengan nama Hukum Alam, Dewa-Dewi, Tuhan dan beribu nama lain yang kemudian dianggap mitos belaka. Manusia tidak butuh lagi Dewa-Dewi, manusia tidak butuh lagi kitab suci yang mengatur proses kesejarahan umat manusia, karena manusia ternyata memiliki rasio yang mampu menjadi cahaya bagi kehidupannya. Sebuah kesadaran baru muncul bahwa manusia dengan optimalisasi rasionya mampu memilih jalan terbaik untuk kemudian menentukan sejarahnya sendiri tanpa ada campur tangan dari kuasa yang lain. Sebuah kesadaran baru antroposentrisme, bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Momentum awal ini dalam aliran sejarah dinamai Aufklarung (Zaman pencerahan) negasi dari Zaman sebelumnya yaitu Abad Kegelapan yang menempatkan manusia dibawah tanah aliran sejarah yang mengalir diatasnya diluar kuasa kontrol manusia.

Zaman modern kemudian mendapatkan legitimasi sosial politiknya melalui revolusi Prancis 1779 yang menandakan runtuhnya kekuasaan feodal-religius di Prancis. Legitimasi ekonomi politiknya muncul sebelumnya dalam Revolusi Industri di inggris pada tahun 1750 yang meruntuhkan tatanan agraris tradisional yang ada sebelumnya. Baik Aufklarung, Revolusi Prancis dan Revolusi Industri menyatu dibawah panji kepercayaan penuh pada kuasa manusia bahwa ternyata manusia mampu menentukan sejarahnya sendiri dengan berlandaskan rasionalitasnya yang berkembang secara komulatif dari tahap ketahap hingga sampai pada pengetahuan absolut.

Sejak saat itu, proses kesejarahan manusia menjadi tanggung jawab manusia sendiri yang dijalankan secara sadar untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Zaman modern ini lahir di Eropa yang kemudian dihembuskan kekawasan lain melalui ekspansi kolonialisme dengan tiga pilar pendorong yaitu Gold, Glory dan Gospel. Titik tekan yang kemudian dianggap sebagai proyek etis adalah meng-Adab-kan Bangsa lain yang belum beradab (yang memunculkan kritik keras terhadap proyek ini). Ekspansi kolonialisme ini kemudian menyebarkan virus antroposentrisme yang secara akademik berkembang kemudian melalui penetrasi hegemoni Eurosentris dalam ranah pendidikan baik formal maupun nonformal. Pembangunan sendiri secara teoritik baru berkembang pasca perang dunia kedua sebagai ruang perdebatan antara dua Ideologi besar, Kapitalisme dan Sosialisme dengan konsepsi teoritiknya masing-masing tentang pembangunan, defenisi, konsep, model, dan pelaksanaannya.

Pembangunan kemudian menjadi wacana global yang mewarnai sejarah manusia hingga hari ini. Gagasan awal pembangunan dalam perjalanannya kemudian semakin kaya dengan beragam masukan pemikiran hingga pembangunan muncul hari ini sebagai sebuah konsep yang telah mapan secara teoritik bahkan sampai pada konsep praktis yang dilengkapi dengan rumusan matematis. Sebuah kemajuan komulatif ataukah secara revolusioner, yang jelas pembangunan menjadi anak kandung sejarah umat manusia. Pembangunan menyatu dalam aliran sejarah yang dipercaya sebagai proses untuk meningkatkan kesejahteraan manusia walaupun didalamnya konsep pembangunan ini masih terjadi polarisasi yang tajam tentang bagaimana memaknainya dan melaksanakannya. Sebagai sebuah proses sejarah, pembangunan yang telah lama dilaksanakan tentu saja layak untuk dievaluasi keberadaannya, terlebih lagi pembangunan memiliki janji kesejahteraan berarti evaluasi terhadap pembangunan adalah evaluasi terhadap janji pembangunan sebagai proses untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Yang akan kita evaluasi adalah janji pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dalam kenyataannya hingga hari ini.

Penilaian terhadap kenyataan sayangnya adalah sebuah kerja yang akan sangat rumit. Karena kenyataan bukan saja melahirkan kata-kata ataupun teori, tapi sebaliknya kata-kata ataupun teori juga bisa menciptakan kenyataan melalui mekanisme wacana. Perdebatannya adalah siapa melahirkan siapa, kenyataan yang melahirkan wacana ataukah wacana yang melahirkan kenyataan. Posisi yang paling aman untuk menyenangkan hati adalah menganggapnya sebagai praksis yang saling mempengaruhi timbal balik, ibarat pertanyaan mana lebih duluan, telur atau ayam, sulit kan? Kenyataan adalah ruang terbuka yang bisa ditafsirkan sesuai kepentingan, sehingga setiap penafsiran akan mencari ruang legitimasi faktanya. Untuk lepas dari singkarut permasalahan ini, diperlukan kemunculan fakta yang mampu kita sodorkan sebagai fakta yang diterima secara agak obyektif dalam artian menerima ataukah mendekati pembenaran dalam ruang subyektifitas masing-masing. Syarat berikutnya adalah fakta yang memiliki keterkaitan dengan pembangunan yang sedang kita bicarakan.

Yang mencuat akhir-akhir ini adalah beberapa fakta yang mungkin agak memilukan. Beberapa diantaranya adalah Kerusakan Ekologis. Kerusakan Ekologis sendiripun sebenarnya adalah penyederhanaan dari beberapa fakta memilukan didalamnya. Kerusakan lingkungan hidup, polusi udara, air dan penurunan kualitas tanah, pemanasan global sebagai efek dari pembangunan yang dijalankan umat manusia. Kerusakan lingkungan sosial, kesenjangan Antara Utara Selatan yang semakin mencuat ketimpangannya sejak dimunculkannya laporan komisi Brandt dan UNCTAD, kemiskinan di selatan, kesehatan dan tingkat pendidikan yang rendah di selatan khususnya. Pembangunan bukannya meningkatkan kesejahteraan, malah semakin memperburuknya.tentu saja ini akan menjadi fakta memilukan bagi evaluasi keberhasilan pembangunan sekarang ini sekaligus bagi generasi selanjutnya.

Seputar Konsep Pembangunan
Di Indonesia sendiri sebenarnya, kata pembangunan itu sendiri baru muncul ditahun 1970-an, sebelumnya kata yang pernah populer yang memiliki makna yang agak mirip dengan pembangunan adalah revolusi, nations and character building. Ruslan Abdul Gani dalam suatu retsrospeksinya menyimpulkan bahwa setelah selesainya revolusi Fisik, pada tahun 1950 Indonesia memasuki tahap State Building yaitu pembangunan perangkat kenegaraan serta pemerintahan. Pada tahun 1960-an telah berlangsung tahap”nations and character building” yang terutama memperhatikan segi pertumbuhan bangsa dan penemuan identitas kepribadian bangsa. Sedangkan tahun 1966, lebih-lebih sejak tahun 1970an, hingga kini, Indonesia mulai melangkah ketahap “socio-economic building”. Rumusan ini memberikan sekedar pemahaman bahwa istilah pembangunan lebih berkonotasi sosial ekonomi, memang merupakan gejala semantik baru dan relatif lebih populer ketika Pemerintah merumuskannya dalam TAP No.XXIII tahun 1966 dan Peraturan 3 oktober 1966 yang kemudian menjadi konsepsi awal dan mendasar dari pembangunan.

Sejak saat itu penggunanaan kata pembangunan mulai sering terdengar dan mengalami intensitas pemakaian dari tahun ketahun. Tapi, walaupun kata Pembangunan sudah digunakan sebagai kosa kata umum dalam interaksi sehari-hari, tapi intensitas penggunaannya tidak menyiratkan kesamaan pandangan didalamnya. Bukan Cuma dari Prosedur, Model, strategi saja, tetapi juga defenisi mengenai pembangunan sendiripun masih kabur. Masyarakat luas mungkin akan mendefinisikannya sebagai pembangunan fisik, kaum akademisi akan mendefinisikannya sebagai pembangunan ekonomi, ataukah mengaitkannya dengan dimensi sosial politik yang lebih luas. Pembahasan ini tentu saja akan sangat mendesak dipaparkan untuk tidak menyulitkan pembahasan selanjutnya.

Pembangunan biasanya diasosiakan dengan kata Development yang dapat diketemukan dalam literatur Ekonomi yang kadangkala dipakai beriringan dengan Growth. Dalam literatur ekonomi Growth biasanya dipribumisasikan dengan istilah Pertumbuhan. Agar tidak membingungkan, sebelumnya perlu dibedah dulu perbedaan antara Development dan growth. Menurut Robert A Flamming Development lebih menunjuk pada perubahan kualitatif sementara Growth lebih merujuk pada perubahan kuantitatif. Ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Kindleberger dengan menempatkan development lebih luas dari Growth, bukan Cuma pertumbuhan tetapi juga perubahan struktural. Dari rumusan Kindleberger ini, development diasosiasikan sebagai perubahan struktur (transformasi struktural) dari formasi masyarakat agraris-tradisional menuju masyarakat industrial-modern.

Tidak semua sepakat dengan rumusan ini, Bjorr hetne pada tahun 1978, Dudley Seers (1968) , Dawam Rahardjo (1982) dan beberapa pakar pembangunan lain mempersoalkan asosiasi pembangunan dengan development begitu saja. Pembangunan dianggap sebagai sebuah proyek yang begitu luas bukan hanya ekonomi saja, gugatan radikalo pun sebenarnya telah dimunculkan oleh Dennis Goulet 1972 yang mengkonfrontasikan istilah pembangunan dan pembebasan (liberation). Pembebasan dianggap sebagai ekspresi yang tepat bagi pemihakan kepada problem kemanusiaan yang banyak muncul di Amerika Latin. Di Indonesia sendiripunpun kita mengenal Sudjatmoko yang menyamakan pembangunan dengan kebebasan mirip dengan karya Amartyazen yang meraih nobel tahun 99 Development as A Freedom.

Dengan mengangkat perbedaan tadi, sebenarnya kita sedang membuka pintu perdebatan paradigmatik tentang pembangunan. Dalam pembangunan, sejalan dengan ragam penafsiran tentang pembangunan juga memunculkan ragam paradigma Pembangunan. Bila Paradigma kita defenisikan secara sederhana sebagai sekumpulan nilai yang diterima oleh sekelompok ilmuwan dan menjadi landasan untuk melahirkan teori, maka didalamnya akan kita temukan ragam paradigma pembangunan. Kemunculan pembangunan itu sendiri lahir dari suatu konteks sejarah pasca perang dunia kedua yang diwarnai oleh Pertarungan Ideologis antara Blok Kanan yang Kapitalis, Amerika sebagai pusatnya dengan Blok Kiri yang Sosialis dengan Uni Sovyet sebagai pusatnya. Negara Pasca Kolonial menjadi arena baru pertarungan dua ideologi besar tadi untuk merebut pengaruh bagi Ideologinya. Setiap Ideologi memiliki paradigma tentang pembangunan. Dari paradigma yang berbeda kemudian melahirkan teori-teori pembangunan untuk menunjukkan validitas dan akurasi dari paradigmanya masing-masing.

Negara-negara kapitalis melahirkan Paradigma Modernisasi sedang Negara-negara sosialis melahirkan paradigma Dependensi. Paradigma dependensi sebenarnya lahir sebagai kritik dari kegagalan Paradigma Modernisasi dalam penerapannya di Amerika Latin. Kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Marxisme walaupun kelak dari Tubuh pemikir dependensi sendiri ada beberapa model penyesuaian terhadap pandangan awal marxisme.

Paradigma modernisasi memberikan rumusan bagi negara Dunia ketiga untuk mengikuti jalan yang pernah dilalui oleh negara maju agar bisa memiliki standar hidup yang sama dengan negara yang telah maju. Teori Rostow tentang tahap pertumbuhan menjelaskan secara sederhana konsep ini. Sementara paradigma dependensi menekankan bahwa pembangunan yang dicapai oleh negara Dunia ketiga bila tetap masuk dalam sistem kapitalis dunia adalah pembangunan yang tergantung. Cara untuk mencapai pembangunan yang sejati adalah dengan melepaskan diri dari sistem kapitalis internasional dengan AS dan Euro sebagai pusatnya. Dari paradigma dependensi kemudian lahir beragam penyesuaian yang oleh beberapa pakar pembangunan dianggap sebagai paradigma tersendiri yaiti teori sistem dunia dari immanuel wallerstein yang sering dianggap sebagai dependensi lunak. Cara pandang pada Pusat dan pinggiran dilengkapi dengan negara antara pusat dan pinggiran yaitu semiperiphery. Kemunculan dari formasi dunia ini berjalan secara historis

Negara Dunia ketiga yang pada saat itu baru lepas dari kolonialisme mewarisi beragam kendala struktural yang diirngi keterbelakangan sehingga memunculkan keinginan kuat dari negara Dunia Ketiga untuk mengejar ketertinggalannya. Tawaran dari dua paradigma kemudian menjadi sebuah tawaran memikat bagi negara Dunia ketiga untuk mengadopsinya. Pada sisi lain, keterbatasan konsep dan pengalaman yang dimilki oleh negara dunia ketiga yang baru lepas dari penjajahan akan mengakibatkan upaya pencarian konsep yang muncul dari dirinya sendiri akan sangat menyiksa dan biasanya akan menghasilkan akrobatik intelektual yang lucu dan menyedihkan. Pilihan yang tersedia kemudian adalah memilih diantara dua paradigma yang ada dengan penyesuaian sedikit didalamnya.

Konsepsi Pembangunan berkelanjutan; Solusi Alternatif ?

Keberatan terhadap teori-teori pembangunan yang terlalu berkutat pada masalah-masalah ekonomi dan kurang mempertimbangkan variabel lainnya sudah lama dilontarkan oleh beberapa pemikir ekonomi. Kritik yang paling mendasar adalah pada asumsi dalam teori-teori pembangunan yang terlalu menitikberatkan konsentarasi yang berlebihan pada pertumbuhan dan cara-cara untuk mempercepatnya. Pertumbuhan dianggap sebagai proses untuk meningkatkan kesejahteraan dianggap tidak memilki batas-batas tertentu. Akibatnya variabel non Ekonomi menjadi terlupakan yang berdampak pada munculnya berbagai macam dampak negatif pada dimensi lain.

Kritik yang paling tangguh muncul dari kelompok “Green Critique” yang intinya mempertanyakan bahwa apakah betul perekonomian akan sehat bila pertumbuhan menjadi prioritas satu-satunya untuk meningkatkan kesejahteraan? Rekomendasi yang dimunculkan dari kritik hijau adalah perlunya memasukkan beberapa variabel yang selama ini terlupakan oleh Teori-teori pembangunan yaitu Variabel lingkungan hidup yang semakin rusak oleh perilaku konsumsi maupun produksi modern dan Variabel Distribusi pendapatan yang kurang diperhatikan. Menyusul kemudian keberatan dari Tim the limits of Growth atau club of rome tahun 1972 yang juga mempersoalkan pertumbuhan yang menjadi konsentrasi penuh pada pertumbuhan yang dianggap tanpa batas. Rekomendasi yang dimunculkan the limitas to growth (oleh Club of Rome) adalah adanya faktor yang membatasi pertumbuhan yaitu penduduk, produk industri, sumber alam, dan pencemaran. Kesimpulannya tanpa mengubah kecendrungan sekarang ini, maka diperkirakan planet ini akan mencapai Limits to growth pada abad berikutnya.

Titik tekan dari beberapa kritik pada teori dan model pembangunan yang dijalankan yang terlalu memusatkan pada pertumbuhan dan cara-cara untuk mencapainya. Akibatnya adalah memunculkan beragam masalah yang akan mengancam pada keberlanjutan kehidupan manusia. Sorotan yang dimunculkan pada dasarnya ada dua dimensi yaitu daya dukung alam dan daya dukung sosial. Tanpa memasukkan variabel lingkungan alam dalam teori dan model pembangunan dalam janghka panjang akan memunculkan kerusakan ekologis yang akan menghambat pembangunan di masa depan. Begitupun variabel daya dukung sosial tanpa meningkatkan solidaritas sosial diantara masyarakat, hal ini akan mengancam keberlangsungan program pembangunan.

Daya Dukung Alam dan Daya Dukung Sosial ketika terlupakan dalam pembahasan teori dan model pembangunan akan menghasilkan pembangunan yang walaupun tumbuh tinggi akan mengancam kelangsungan kehidupan sekarang dan masa depan. Generasi masa depan akan mewarisi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang mengalami kerusakan dan menjadi ancaman serius bagi generasi berikutnya untuk melangsungkan kehidupan masa depan. Daya dukung alam adalah keseimbangan alam yang saat ini megalami kerusakan serius dengan munculnya pembangunan tanpa batas, generasi depan akan diwarisi lingkungan alam yang rusak, pertanyaan yang muncul adalah mampukah mereka melangsungkan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan kerusakan alam yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Daya dukung sosial adalah keseimbangan lingkungan sosial yang ada yang akan berujung pada terciptanya solidaritas sosial. Tanpa solidaritas sosial pertanyaan yang akan muncul adalah mampukah generasi mendatang menjalankan proses pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidupnya ditengah lingkungan sosial yang mengalami kerusakan. Kerusakan lingkungan sosial menjadi ancaman serius bagi proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung karena kesenjangan yang sangat timpang yang sedang terjadi hari ini baik antar kawasan (utara –selatan), antar kelompok masyarakat, antar daerah dan antar personal, ketergantungan yang sangat tinggi tanpa kemandirian anggota masyarakat tertentu.. Ketimpangan dan ketergantungan yang terjadi disamping menghambat peningkatan kualitas hidup bagi kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah. Ketimpangan yang terjadi juga menjadi kondisi lingkungan yang dalam skala tertentu bisa menciptakan konflik ketika daya dukung sosial telah terlewati.

Ancaman bagi kelangsungan kehidupan umat manusia hari ini dan terutama generasi mendatang menjadi sebuah tuntutan untuk mulai merumuskan konsepsi pembangunan yang lebih menekankan pada keberlanjutan pembangunan. Hal inilah yang menjadi rahim kelahiran wacana Pembangunan Berkelanjutan (sustunaible development).Defenisi sederhana dari Pembangunan berkelanjutan ini adalah

“proses multidimesional untuk meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa mengurangi hak generasi mendatang”.

Pembangunan berkelanjutan ini kemudian dimasukkan dalam deklarasi tentang hak pembangunan PBB tahun 1986. Pengembangan selanjutnya dari konsep pembangunan berkelanjutan disumbangkan oleh Herman Daly dan Richard Cobb dalam buku mereka “For the Common Good” tahun 1989 yang memuat tentang indikator pembangunan dengan memasukkan konsep keberlanjutan pembangunan dan faktor lingkungan hidup. Indeks ini dinamai Indeks os Sustanaible Economic Welfare (ISEW). Biaya yang timbul karena hilangnya sumberdaya yang tak terbaharui dan (non reneewable resources) dan karena kerusakan lingkungan yang bersifat jangka panjang dikurangkan dengan nilai kegiatan ekonomi. Kemajuan lain yang dicapai kemudian adalah dituangkannya Konsep pembangunan berkelanjutan kedalam program aksi Global yang disepakati secara bersama diantara negara-negara sedunia dalam konferensi Bumi Di Rio de jainero Brasil tahun 1992. agenda aksi bersama negara-negara Sedunia ini kemudian disebut Agenda 21.

Agenda 21 adalah keputusan Konperensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan dan Lingkungan, Rio, Juni 1992 mengenai Program of Action for Sustainable Development dan mencakup pokok-pokok.

1.

Social and Economic Dimension yang meliputi (I) kerjasama internasional untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan negara berkembang serta kebijakan domestiknya; (2) memerangi kemiskinan; (3) merobah pola konsumsi; (4) dinamika demografi dan sustainibilitasnya; (5) proteksi dan meningkatkan kesehatan manusia; (6) promosi pengembangan pemukiman manusia berkelanjutan; (7) integrasi lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan;

2.

Conservation and Management of Resources for Development yang meliputi (8) proteksi atmosfir; (9) pendekatan terintegrasi dalam perencanaan dan manajemen sumber daya lahan; (10) memerangi deforestasi; (11) pengelolaan ekosistem yang rawan (fragil): (12) memerangi desertifikasi dan kekeringan dan pengembangan pegunungan berkelanjutan; (13) mempromosikan pertanian yang sustainable dan pembangunan pedesaan; (14) konservasi keanekaragaman hayati; (15) pengelolaan bioteknologi berwawasan lingkungan; (16) proteksi samudera, beranekaragam lautan, termasuk lautan tertutup dan semi-tettutup, kawasan pesisir serta proteksi dan penggunaan secara rasional berikut opengembangan sumber alam hayati; (17) proteksi kualitas dan supply air tawar; penerapan pendekatan integratif dalam pembangunan, manajemen dan pemakaian air; (18) pengelolaan kimia toksis berwawasan lingkungan, termasuk mencegah lalu lintas internasional illegal dalam produk toksik dan bahaya; (19) opengelolaan limbah beracun dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan lalu lintas internasional secara illegal dalam limbah beracun dan berbahaya; (20) pengelolaan limbah padat dan limbah cair berwawasan lingkungan; (21) pengelolaan yang aman dan berwawasan lingkungan dari limbah radioaktif;

3.

Strengthening the role of major groups yang meliputi: (22) aksi global bagi perempuan mengembangkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan; (23) anak dan pemuda dalam pembangunan berkelanjutan; (24) mengakui dan memberdayakan peranan penduduk indigenous serta komunitasnya; (25) memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah; mitra dalam pembangunan berkelanjutan; (26) prakarsa otoritas lokal menunjang Agenda 21; (27) memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya; (28) memberdayakan peranan bisnis dan industri; (29) kkomunitas ilmuwan dan teknologi; (30) memberdayakan peranan petani;

4.

Means of Implementation mencakup; (31) sumber keuangan dan mekhanismenya; (32) pengalihan teknologi berwawasan lingkungan, kerjasama serta pengembangan kapasitas; (33) ilmu pengetahuan bagi pembangunan berkelanjutan; (34) mempromosikan pendidikan, kesadaran publik dan latihan; (35) mekanisme nasional dan kerjasama internasional untuk mengembangkan kapasitas dalam negara berkembang; (36) pengaturan kelembagaan internasional; instrumen legal dan mekanisme internasional; (37) informasi bagi pengambilan keputusan;

Secara terpisah diuraikan Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan dan Pernyataan Prinsip-prinsip Kehutanan.

Untuk Indonesia dikembangkan pokok-pokok Agenda (tentang abad ke) 21 Indonesia Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan dan mencakup:

1.

Pelayanan Masyarakat: (1) pengentasan kemiskinan; (2) perobahan pola konsumsi; (3) dinamika kependudukan; (4) pengelolaan dan peningkatan kesehatan; (5) pengembangan perumahan dan pemukiman; (6) instrumen ekonomi serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu

2.

Pengelolaan limbah: (7) perlindungan atmosfir; (8) pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya; (() pengelolaan bahan kimia beracun; (10) pengelolaan limbah radio-aktif; (11) pengelolaan limbah padat dan cair;

3.

Pengelolaan sumber daya tanah: (12) penataan sumber daya tanah; (13) pengelolaan hutan; (14) pengembangan pertanian; (15) pengembangan perdesaan; (16) pengelolaan sumber daya air;

4.

Pengelolaan sumber daya alam: (17) konservasi keanekaragaman hayati; (18) pengembangan bioteknologi; (19) pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan (120201)

Implementasi Pembangunan berkelanjutan
Agenda 21 sebagai kesepakatan Global yang telah disepakati di Rio de jainero telah berlangsung selama 10 tahun sampai sekarang ini. Kesepakatan global ini kemudian melalui resolusi PBB disepakati untuk ditinjau kembali pelaksanaan agendanya secara Global. Untuk keperluan ini dirumuskanlah pertemuan global Rio+5 dan saat ini sedang menyiapkan Rio+10 yang akan di Laksanakan di Johannesburg Afrika Selatan awal Agustus 2002. serangkaian pertemuan penyiapannya baik ditingkat lokal, national dan global telah dilaksanakan melalui Prep-Com I – IV. Prep-Com terakhir dan sekaligus menjadi ajang pertemuan tingkat Menteri telah berakhir tanggal 7 Juni 2002 yang dilaksanakan di Nusa Dua Bali. Walaupun pertemuan ini dianggap gagal karena tidak menghasilkan kesepakatan bersama dan masih banyaknya agenda yang deadlock, tapi kita masih bisa berharap sedikit pada pertemuan informal yang kan dilaksanakan sebelum Rio+10 di Afrika Selatan.

Maksud pertemuan KTT Rio + 10 bukan lagi untuk mengungkit kesepakatan Global sebelumnya tentang pembangunan Berkelanjutan, tetapi untuk lebih menumbuhkan komitmen tentang perlunya implementasi dari rencana Aksi Agenda 21. Hal ini menjadi sangat mendesak melihat keterseokan dari implementasi agenda 21 pada tingkatan Lokal,Nasional, Global. Banyak pihak yang pesimis terhadap pelaksnaan Agenda 21 yang Cuma menjadi retorika diatas kertas tanpa ada politicall will untuk mengimplementasikannya. Ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara dua kubu didalamnya, yaitu antara negara maju G7 dan negara lainnya (G 77/China dll)

Kendala Internasional

Kurangnya realisasi komitmen yang sudah dibuat masyarakat internasional terutama negara-negara maju telah, sampai pada tingkat tertentu, menghambat pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Di tingkat internasional, pendanaan pembangunan berkelanjutan tidak mencukupi karena nilai ODA terus menurun meskipun negara-negara maju telah berjanji untuk menyisakan 0,7 persen dari GNP untuk ODA. Bagi Indonesia, hal ini berarti berkurangnya sumber dana untuk pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang, apalagi dengan adanya krisis ekonomi yang telah memperburuk masalah hutang negara.

Demikian juga, negara-negara maju belum memenuhi komitmen untuk menyediakan akses terhadap teknologi yang ramah lingkungan dan hasil-hasil penelitian ilmiah kepada negara-negara berkembang. Isu penting lainnya adalah pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), yang sangat penting untuk pembangunan negara berkembang berbentuk kepulauan seperti Indonesia. Namun, seperti halnya teknologi lain, negara-negara maju belum menciptakan mekanisme untuk transfer ICT ke negara-negara berkembang dan pada saat yang bersamaan membantu membangun kapasitas nasional mereka dalam mengembangkan ICT
Terakhir, wacana internasional mengenai pembangunan berkelanjutan agaknya telah dikalahkan oleh agenda liberalisasi ekonomi, terutama liberalisasi perdagangan. Banyak peraturan perdagangan multilateral, terutama pada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO), yang tidak sejalan dengan peraturan-peraturan kelestarian lingkungan dan sosial yang sudah ada. Tambahan lagi, negara-negara maju menyalurkan bantuan pada program-program penguatan kapasitas negara-negara agar dapat memenuhi peraturan-peraturan WTO dari pada penguatan kapasitas untuk pembangunan berkelanjutan.

Kendala Nasional

Di tingkatan lokal dan national sendiripun pesimisme yang berklebihan pada agenda 21 tetap ada. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kegagalan implementasi selama 10 tahun terakhir di Indonesia yang lebih diperburuk dengan krisis multidimensional yang melanda Indonesia. Untuk melihatnya secara gamblang laporan UNDP tentang kualitas pembangunan manusia Indonesia yang menempatkan Indonesia pada peringkat 109 dunia dalam hal pembangunan manusia. Kemiskinan Di indoensia tetap tinggi yaitu 24,2 persen tahun 1998 dan 33,2 juta atau sekitar 16,1% taun 2000 dari penduduk (BPS, 2001). Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya pengangguran dan tingkat “kerentanan” (“vulnerability” rates). Angka pengangguran setelah terjadi krisis di tahun 1998 adalah 5,5 persen dan 6,4 persen pada tahun 1999. Laju penebangan hutan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia dengan kisaran antara 1,6 hingga 2,1 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2001). Sumber lain menghitung bahwa laju berkurangnya bentang hutan dalam hutan produksi antara tahun 1984 dan 1997 adalah 2.528.500 hektar per tahun (Kartodihardjo dan Supriono, 1999). Angka tersebut tidak termasuk kerusakan hutan di kawasan lindung dan konservasi atau kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan di tahun 1997/1998 dan penebangan liar. Kerusakan hutan akibat kebakaran diperkirakan antara 200.000 dan 5 juta hektar (Bappenas, 1999). Sekitar 43 juta hektar hutan telah terdegradasi di Indonesia dan akibatnya 294 spesies flora dan fauna terancam. Situasi ini telah mengakibatkan kelangkaan sumber daya dan kompetisi antar pihak-pihak yang berkepentingan, yang sering kali berakhir dengan kerusuhan sosial

Masih banyak hal-hal lain yang diajukan oleh kelompok yang pesimi terhadap implemnetasi agenda 21 di indobnesia. Kalau memang sustanaible development menjadi konsep yang mendesak untuk diimplementasikan, yang dibutuhkan kemudian upaya akselerasi pembangunan berkelanjutan.

Akselerasi Pembumian Pembangunan Berkelanjutan; Apa saja yang mendesak?

Kegagalan dari Agenda 21 pada tingkatan Internasional maupun nasional dan regional menjadi sebuah prasyarat baru perlunya berpikir ulang tentang pelaksnaannya khususnya di Indonesia.

Pada skala internasional diperlukan kerjasama yang erat dan tata dunia yang lebih adil baik melalui penciptaan situasi perdaganhgan yang lebih adil, bantuan pembangunan dari negara maju kepada negara berkembang. Peningkatan kerjasama secara Internasional karena lingkungan hidup dan lingkungan sosial bukan lagi menjadi dampak terpisah yang dialami oleh masing-masing negara tapi akan berdampak secara internasional pada dunia yang sudah terintegrasi secara rapat ini.

Pada tingkatan national, yang sering menjadi penghambat adalah belum adanya politikall will dari pemerintah untuk mewacanakan tentang pembangunan berkelanjutan dan agenda 21 pada masyarakat luas. Hal yang menjadi penghambat juga sekaligus keberatan dari negara maju adalah tingkat korupsi yang masih tinggi. Indonesia adalah urutan pertama Asia menurut penelitian yang dilaksanakan oleh PERC. Bantuan dari negara maju akan dikorup lagi sehingga keengganan untuk menyalurkan bantuanm layak dipertimbangkan. Rumusan ini kemudian kemudian menyiratkan kebutuhan kita akan suatu Tata Pemerintahan Yang baik (Clean governement and Good Governance). Hanya saja ini berhadapan dengan kendala struktural yang menghadang kita selama ini, belum terwujudnya civil society sebagai prasyarat Demokrasi yang kelak menjadi mitra sekaligus kontrol terhadap pemerintahan. Bargaining untuk memunculkan sekaligus menekan tata pemerintahan sangat kurang.

Hal lain yang sering terlupakan atau sengaja dilupakan adalah persoalan yang sangat dekat dengan lingkungan kita. Lingkungan ilmiah yang sehari-harinya berkutat dengan teori pembangunan dan ilmu ekonomi. Dalam kerangka teoritik, masih didominansi oleh paradigma modernisasi. Keterkaitan erat antara teori dan kebijakan tentunya bukan hal yang baru bagi kita. Setiap kebijakan pasti membutuhkan landasan teoritik sebagai referensi ataupun sebagai legitinasi teoritik yang membenarkan kebijakannya. Kebijakan yang tidak berdasarkan pada teori sekalipun hanya mengumpulkan suara saman sebelumnya tanpa pernah menolak kehadiran suatu teori dibenaknya, karena teori adalah Pentederhanaan atas kosmos, tanpa itu kita hanya berhadapan dengan sebuah ruang yang tak terdefinisikan.

Dibutuhkan ikhtiar keras untuk merumuskan kerangka teoritik pembangunan yang bukan saja meluaskan kajian pembangunan pada wilayah sosial politik dan kebudayaan, sifatnya yang multidisiplin (bahkan ada yang mengatakan pemabngunan tidak memilkii disiplin) tapi juga mulai merumuskan teori pembangunan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Hal mana yang telah dipraktekkan oleh Mahatma Ghandi dan Rajni Kthari di india, Aryaratne di Srilangka, yang sering dihembuskan oleh Amartyazen, Schumacher, Mahbub ul Haq, Gustavo Guiterres, Mark A.lutz dan kenneth Lux tentang model pembangunan yang bertumpu pada energi kreatif masing-masing bangsa, untuk meningkatkan swadaya dan kemandirian yang menyiratkan kita untuk mencari jalan pembangunan sendiri. Di indonesia pun kita pernah memilki Sudjatmoko yang juga anggota club of Rome dengan pijakan kemanusiaan untuk segala teori dan kebijakan pembangunan. Seberapa jauh ini bisa terwujud, ini kembali pada kertja keras kita yang terlalu lama memenjarakan pembangunan dalam perangkap indikator ekonomi.

…Teori pembangunan berkutat pada masalah-masalah pertumbuhan modal, keterampilan, sehingga kurang mengabaikan problem struktural, kelembagaan masyarakat, historisitas dan kultural. Teori pembangunan menjadi menjadi suatu yang problematis yang mengundang pembaruan-pembaruan bagi teori pembangunan Alternatif yang lebih berkemanusiaan dan keadilan… (Sudjatmoko, 1984)